EcoTourism, Masa Depan Pariwisata Sulsel

Dewasa ini isu lingkungan menjadi isu global yang hangat diperbincangkan seluruh negara. Di abad 21 ini bumi semakin tua saja dan terpuruk akibat ulah manusia dengan pembangunan fisik layaknya jamur di musim hujan. Jakarta, ibu kota negara telah menjadi hutan beton dan gedung-gedung bertingkat dengan perbandingan taman kota yang tidak ideal. Salah satu akibat yaitu banjir lima tahunan terus terjadi dan mengorbankan masyarakat luas. Sedangkan Kalimantan sebagai paru-paru dunia, rumah berbagai ribuan satwa liar, kini sudah disulap menjadi taman kelapa sawit dan tambang yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan karena menghilangkan separuh dari total hutan yang dimiliki.

Melihat kondisi ini, Sulawesi Selatan sebagai pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia dengan pembangunan yang signifikan harus melihat potensi bencana yang akan terjadi. Karena pembangunan yang tidak seimbang dengan pelestarian lingkungan akan berdampak serius pada munculnya berbagai masalah baik itu banjir tahunan, kekeringan jangka panjang, meningkatnya suhu, juga cuaca yang tidak menentu. Salah satu pembangunan yang signifikan di Sulawesi selatan adalah munculnya berbagai gedung-gedung tinggi dengan penggunaan energi tak terbarukan yang besar. Untuk keuntungan komersial, maka hal tersebut menjanjikan berbagai pihak, namun keuntungan dari sektor lingkungan menjadi sangat minim. Objek wisata pun kini semakin beragam diramaikan dengan mall-mall dan hiburan yang tidak lagi alami.

Sebenarnya bukan hal salah memang dengan adanya pembangunan tersebut, sepanjang masih ada kepedulian dari pemerintah dan masyarakat untuk menjaga lingkungan yang diwujudkan  kebijakan dan tindakan. Menyeimbangkan pembangunan dengan daerah resapan dan taman hijau sekitar 30 % dari luas kota menjadi salah satu kebijakan yang berorientasi lingkungan. Selain itu ada juga konsep pembangunan di sektor pariwisata berwawasan lingkungan, yaitu ecotourism atau ekowisata. Hal inilah yang bisa diaplikasikan dan dipikirkan dalam pembangunan pariwisata di Sulawesi Selatan kedepan dengan melihat semakin tipisnya daerah hutan dan objek yang masih alami. Juga untuk melihat sejauh mana konsep ini diaplikasikan dalam pengembangan pariwisata Sulawesi Selatan.


Sejarah Ekowisata
Ecoutourism atau ekowisata sudah lama menjadi pegangan dalam perbincangan global. Pada tahun 1987, rumusan ekowisata pertama kali ditemukan oleh Hector Ceballos-Lascurain yang mendefinisikan ekowisata sebagai berikut:
“Ecoutourism can be defined as tourism that consist in travelling to relatively undisturbed or uncontaminated natural areas with the specific objectives of studying, admiring and enjoying the scereny and its wild plants and animals, as well as any existing cultural manifestations (both past and present) found in the areas.”
Atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut:
Ekowisata adalah perjalanan ke tempat-tempat alami yang relative masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmari pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini”. Definisi ini menjadi pegangan dan panduan dalam diskusi ekowisata di seluruh dunia yang kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada tahun 1990 sebagai berikut:

“Ecotorism is responsible travel to natural areas which conserved the environment and improves the welfare of local people”. Sedangkan menurut Fenell (1999) mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk berkelanjutan berbasis sumberdaya alam pariwisata yang berfokus pada pengalaman dan pembenlajaran tentang alam dan yang berdampak etis rendah, non konsumtif dan berorientasi lokal. Ekowisatapun diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Nomor 4 Tahun 1982 (diakses melalui situs ini )dengan tujuan pengembangan untuk:
1.    Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai pembagian pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
2.    Terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana.
3.    Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup.
4.    Terlaksananya pembangunan yang berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
5.    Terlindunginya negara dari dampak kegiatan di luar wilayah negara yang dapat menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Jika melihat objek wisata yang kita miliki sekarang, konsep ekowisata sudah mulai dilirik meskipun belum maksimal dalam tahap implementasinya. Untuk melihat konsep ini diaplikasikan adalah dengan menilai pengembangan objek wisatanya. Salah satunya adalah berupa taman nasional dimana di dalamnya terdapat beberapa objek wisata. Meskipun kita memiliki dua taman nasional yaitu Bantimurung Bulusaraung dan Takabonerate, tetapi menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk terus menjaga kelestariannya. Eksistensi aneka satwa di dalamnya menjadi sangat penting. Seperti kita ketahui bahwa Bantimurung memiliki 256 spesies kupu-kupu bantimurung, kuskus beruang (Ailurops Ursinus) dan primanta terkecil di dunia Tarsius Spectrum. Kera hitam (Dare, nama ilmiah Macaca Maura). Jika melintasi deretan pegunungan karst yang indah itu, sesekali pengendara mobil disajikan pemandangan melintasnya kera hitam sulawesi. Dulu, kejadian itu sangat sering ditemui. Akan tetapi akhir-akhir ini, penampakan dari kera ini sudah jarang ditemui, sehingga menjadi tugas dari masyarakat dan pemerintah untuk menjaga objek wisata alam tersebut. Kehilangan ciri dari sebuah objek menjadi pertanda hilangnya keistimewaan dari objek tersebut.

Takabonerate pun seperti itu. Keindahan taman lautnya menjadi harta yang tak ternilai harganya. Memiliki atol karang terbesar ketiga di dunia, Berbagai spesies langka dari ikan dan terumbu karang menjadi nilai jual yang sangat penting. Dimana terdapat sekitar 261 jenis terumbu karang dari 17 famili dan 295 jenis ikan karang yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu kejernihan air dan intensitas pencemaran yang masih kurang boleh jadi membuat kita masih berbangga. Tapi apakah keindahan dan kelestarian biota laut masih eksis berapa tahun lagi jika tidak ada pembangunan berkelanjutan berbasis pada konservasi daerah objek wisata.

Salah satu indikator dari terlaksananya konsep ekowisata adalah adanya penyadaran dan kerjasama dengan masyarakat untuk menjaga objek wisata untuk tetap alami. Baik dalam bentuk sosialisasi, workshop atau pelatihan. Dengan tujuan memberi pemahaman akan arti penting keberlangsungan objek wisata untuk persiapan masa depan. Saat ini belum ada informasi akurat mengenai ada tidaknya sosialisasi yang dilaksanakan pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat kepada masyakat akan ekowisata ini. sehingga perlu kiranya pemerintah untuk merancang program kerja untuk tidak menggunakan sianida, misalnya, pada kegiatan penangkapan ikan di kepulauan Kabupaten Selayar.

Ketika sosialisasi dan pelaksanaan sudah berjalan, pemerintah seharusnya tetap memikirkan upaya nyata dalam mendatangkan wisatawan. Proses ekowisata bisa terjadi jika adanya kedatangan wisatawan ke tempat wisata. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai adalah salah satu kunci keberhasilan dari pengelolaan objek wisata. Ketika objek wisata kita masih alami, bukan berarti bahwa tidak ada sama sekali pembangunan didalamnya. Aksesibilitas, aktivitas, amenitas, fasilitas dan akomodasi merupakan cakupan yang harus dimiliki dari sebuah objek wisata.

Kalau kita berjalan ke taman nasional Takabonerate misalnya, transportasi yang layak menjadi sarana yang wajib tersedia. Dermaga, toilet dan sistem telekomunikasi yang baik menjadi keharusan. Aktivitas warga harus ada sehingga sebuah kebudayaan hasil cipta manusia menjadi sajian paket wisata. Karena keberlanjutan disini diartikan sebagai upaya koservasi, baik itu konservasi berupa perlindungan terhadap ekologi, tetapi juga adanya koservasi budaya yang bertujuan untuk menjaga produk budaya (tarian, system adat, musik tradisional, cerita rakyat, dll) agar tidak hilang yang berujung pada peningkatan ekonomi yang berkelanjutan.

Sehingga dengan melihat kondisi dua taman nasional ini dimana terdapat berbagai objek wisata di dalamnya, masih perlu upaya dari pemerintah, masyarakat dan NGO untuk terus membangun objek dengan prinsip ekowisata demi keberlanjutan alam dan budaya kita. Dengan harapan beberapa tahun kedepan kelestarian itu tetap terjaga hingga generasi berikutnya. Karena ketika kerusakan terjadi, perlu upaya yang jauh lebih besar dan waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan keaslian dari objek wisata ini. kedua objek ini baru dua dari sekian banyak objek wisata yang kita miliki, sehingga bukan menjadi tanggung jawab pemerintah saja untuk merawat dan mengembangkannya, tetapi partisipasi masyarakat menjadi kunci keberhasilan. Toh yang tinggal dan mendiami serta merasakan keuntungan adalah masyakarat sendiri. Oleh karena itu, kekayaan yang kita miliki sekarang adalah tanggung jawab kita yang harus disikapi dengan tindakan yang bijaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELAMAT DATANG DI
KOMUNITAS DUTA PARIWISATA MAKASSAR